Sunday, October 7, 2012

Samin dan Kearifan Lokal Harus Dilestarikan

Pendopo tempat Sedulur
Sikep Berkumpul 
Pada suatu kesempatan, UNNES (Universitas Negeri Semarang) mengadakan Sarasehan Selasa Legen ( Selasa Legi) keluarga Samin, sedulur sikep dan kearifan lokal. Sarasehan membahas tentang realita Samin dan pengetahuan tentang samin, serta mengklarifikasi pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa samin itu kolot anti modern, dan semacamnya.

Samin berasal dari kata sami, yang berarti sama. Maksudnya, tiap-tiap makhluk hidup tak berbeda satu dengan lainnya. Semua punya kewajiban untuk saling menghargai.
“Selama ini orang Samin dianggap bodoh. Itu karena kebiasaan pendahulu kami, yang semenjak 1914 tak mau sekolah  dari orang Belanda yang kala itu
menjajah bangsa ini,” kata salah seorang tokoh adat Samin Blora, Jawa Tengah, Winarno, saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Selasa Legen, Senin (16/4) di auditorium kampus Sekaran.
“Bahkan hingga sekarang pun kami masih melakukan hal itu. Sedulur Samin tidak bersentuhan dengan teknologi dan modernisasi karena semua itu produk barat yang tidak disukai leluhur kami,” tandasnya dalam bahasa Jawa.

Sedangkan maksud dari sedulur sikep, dia mengatakan, sikep berarti nikah atau nggarwa; sigaraning nyawa. Sebagian hidup berada berada pada Yang Maha Kuasa. Manusia sebenarnya kasinungan roh-Nya, jika terbiasa berusaha untuk mewujudkan apa yang telah terucap maupun janji yang telah dilontarkan. “Samin bukanlah aliran kepercayaan, dan tidak mengenal wayuh, tidak menyekutukan Sang Pencipta,” katanya dihadapan puluhan dosen, karyawan, mahasiswa Unnes, dan pemerhati budaya.
Winarno juga berpesan, dalam menjalani hidup, manusia haruslah saling menghargai dan menyayangi sesama ciptaan Tuhan. “Donya dumunung ing rasa, sing ketok amung titipan. Kadunungan gesang nanging ora rumangsa duwe iku luwih becik, tinimbang rumangsa gesang nanging kabeh didhaku duweke (dunia adanya di dalam rasa, yang terlihat hanyalah titipan. Diberi penghidupan tapi tidak merasa mempunyai itu lebih baik, daripada merasa hidup tapi merasa memiliki semuanya),” katanya.
Lewat tengah malam, dia bersama rombongan sedulur sikep pulang ke desanya di Kelopo Dhuwur, Blora. Meninggalkan harapan untuk universitas konservasi, supaya tak melupakan kearifan lokal yang -sepertinya- kini makin terpinggirkan.

Dari pelosok desa Klopo Dhuwur tepatnya di dusun Karang Pace juga telah dibangun Paguyupan Samin, sebuah bangunan persegiempat dengan luas kira kira 10 meter persegi. Bangunan ini direkayasa oleh mantan carik (sekdes) Kelapa Dhuwur dengan harapan akan dilestarikannya budaya samin dan kearifan lokal. Di tempat ini pula, biasa digunakan perkumpulan keluarga samin setiap selasa legi. Bangunan ini terasa asri karena dibangun tepat dipinggir sawah dan hutan jati. Karena samin merupakan budaya dan kearifan lokal yang harus dijaga kelestariannya, marilah kita sama sama mendukungnya dengan cara tidak menganggap samin suatu golongan tertentu yang kolot dan anti kemajuan , karena pada kenyataannya, keluarga samin dan orang orang di desa Klopo Dhuwur sendiri sudah mengalami kemajuan walaupun tak secepat daerah lain yang mungkin saja disebabkan oleh oknum para pemimpin yang kurang serius dalam membangun desa atau bisa juga disebabkan oleh kekurangan dana. Semoga kedepannya Blora semakin maju terutama desa Kelapa Dhuwur.



No comments:

Post a Comment